Sumur Srumbung - Tuban
CERITA SUMUR SRUMBUNG
Seorang
pendeta Hindu Brahmana dari India yang bernama Sakyakirti hendak mempelajari
ilmu pengetahuan Islam. Sudah banyak kitab-kitab yang dibacanya tetapi tidak
memuaskan hatinya, maka setelah didengarnya ada seorang wali yang termasyhur di
tanah Jawa yang bernama Sunan Bonang, berangkatlah dia menuju pulau Jawa dengan
naik perahu, membawa banyak kitab, degan maksud akan mengalahkan Sunan Bonang
dalam berdebat. Tetapi sebelum sampai di daratan Tuban, perahu yang dinaikinya
terbalik kerena diserang ombak dan segala kitab-kitabnya jatuh ke laut.
Ketika
pendeta Sakyakirti dan murid-muridnya itu dapat menyelamatkan diri dan
naik ke darat, di pantai Tuban. Maka dia
bertemu dengan sosok pria berjubah putih yang sedang berjalan sendiri dengan
membawa sebuah tongkat. Pendeta itu menegur pria berjubah putih tersebut, namun
orang itu tidak menyahut melainkan menancapkan tongkatnya ke tanah dan berdiri
dengan tenang. Kemudian Sunan Bonang bertanya, “Apakah maksud kedatanagan Tuan
Pendeta ke Tanah Jawa ini?”
Pendeta
menjawab, “Aku datang ke Jawa
ini hendak bersoal jawab dengan Sunan Bonang, tetapi rupanya niatku itu tidak
berhasil, karena perahu yang saya tumpangi penuh berisi kitab-kitab terbalik
dan kitab-kitab jatuh ke dasar laut.”
Mendengar
jawaban Pendeta itu, orang laki-laki itu mencabut kembali tongkatnya, dan dari
dalam tanah memancar keluar mata air bersama kitab-kitab kepunyaan pendeta
Hindu itu. “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasat laut?” Tanya lelaki
itu. Berdebarlah hati sang Pendeta sembari menduga-duga siapa sebenarnyalelaki
berjubah putih itu. Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi kehausan langsung
saja menyerobot air jernih yang memancar itu. Sang Pendeta memandangnya dengan
penuh rasa khawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabuk karena
meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
“Segar!
Aduh segarnya!” seru murid-murid sang Pendeta dengan girangnya. Yang lain
berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Brahmana Sakyakirti
tercengang. Bagaimana mungkin air di tepi pantai, rasanya segar. Ia mencicinya
sedikit, memang segar rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi, terlebih jika
berpikir tentang lelaki berjubah putih itu dalam menciptakannya lubang air yang
memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut.
Pastilah lelaki berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Dengan rasa
was-was, takut dan gentar, ia menatap wajah orang berjubah putih itu.
“Siapa
gerangan tuan ini? Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” Tanya sang
Brahmana dengan hati kebat kebit. “Saya diberi nama oleh orang sini, Sunan
Bonang. Tuan berada di pantai Tuban.” Mendengar nama tersebut, maka barulah
pendeta itu tahu bahwa yang dihadapinya adalah Sunan Bonang sendiri. Serta
merta Brahmana beserta pengikutnya menjatuhkan diri dan berlutut dihadapan
lelaki itu. Ia lalu menyerah kepada Sunan Bonang untuk masuk Islam dan berjanji
tidak akan kembali ke tanah seberang sampai akhir hayatnya.
Peninggalan
yang sangat melegenda atas pertemuan antara Brahmana Sakyakirti dan Sunan
Bonang, buah dari adu kesaktiannya,
meninggalkan sumber air ditepi pantai Sidomulyo Tuban. Sumber air yang terus
menyembul dari bekas tongkat Sunan
Bonang yang ditancapkan ke tanah, dan bisa menyemburkan air dengan membawa
kitab-kitab Brahmana yang ikut tenggelam di laut. Sekarang dikenal dengan nama
Sumur Srumbung. Meskipun terletak ditepi pantai, tetapi air yang mengalir dari
sumber itu tetap jernih, tidak asin, dan segar rasanya. Semua itu karena berkah
kekeramahan Sunan Bonang sebagai Waliyullah.
Komentar
Posting Komentar